Rabu, 06 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ini adalah blog karya saya dimana ada banyak cerpen di dalamnya.selamat mencoba^^
Menatap hari buncah harap
melayangkan asa
di tengah gelapnya malam....
Aku gigil, semakin
terasa getaran jiwa
bergejolak tak tentu arah
Ada apa gerangan dengan dirinya?
sebuah pengharapan
dan asa yang terus menyelinap,
memberikan semangat
juga penderitaan yang tak terkira
Apa yang terpikirkan
tak jua menghapus dukanya
semua yang dirasakan,
seolah telah menyatu dalam hatinya
Selalu bertanya,
apakah ini takdir
atau kutukan yang harus dilalui
jeritannya membuat aku pilu,
resah tak tahu harus berbuat apa
Diam!
kataku, pergilah
dan jangan pernah kembali
Apa yang harus aku lakukan?
goresan dan desakan itu
makin membuatnya terpuruk
Aku terdiam,
aku takut ia 'kan semakin terluka
tapi aku tak bisa bangkit dari tempatku
Mengapa?
apa ini kehidupanmu?
mengapa begitu kelam
bisikku lirih, tolong aku
Teriaknya, teriaknya, Tuhan
pekikan itu terus menghantuiku
tak kuasa menahannya lebih lama lagi
hanya menunggu waktu
kapankah terhenti
agar deritanya tak pernah kulihat lagi....
Dara menginjak rem mobilnya untuk belok ke kiri sambil celingak-celinguk mencari alamat yang ditulisnya di kertas 'post it' kuning menyala itu.
"Candi Mendut Barat I...," gumamnya. "Ini sudah Candi Mendut Barat, tapi kok tidak jelas I atau 100, ya?" Dengan agak sebal ia menghubungi sahabatnya sekaligus yellow pages persalonan, Jacklyn.
"Jack, benar nih aku belok kiri setelah rumah bersalin Permata Bunda?" tanyanya begitu Jacklyn menjawab telepon selularnya.
"Yes, Honey. Belok kiri, terus belokan kanan kedua kamu belok kanan, terus lurus saja. Salonnya ada di kiri. Aku sudah daftarkan atas nama kamu. Kalau hari Sabtu begini, ramai sekali, Non."
"Oke, deh. Trims, ya?"
Klik. Percakapan selesai.
Dara agak bersungut saat memarkir mobilnya karena ternyata salon tersebut terletak di daerah perumahan yang jalannya agak sempit. Dan benar kata Jacklyn, hari Sabtu ramai pengunjung. Di depan rumah berpagar coklat itu ada tiang yang atasnya bergantung papan hitam dengan tulisan merah Salon Rifa'i. Di baris pertama dan di baris kedua tertulis, Hari Senin tutup. Hm, Dara agak ragu memasuki salon itu. Kurang meyakinkan, begitulah kesan pertama Dara.
"Siang, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang gadis dengan rambut jingga menyala standar pegawai salon.
"Hm, saya sudah daftar, Mbak... atas nama Dara. Mau gunting dan highlight," jawab Dara sambil mengintip daftar pengunjung yang sudah booking di buku folio besar macam buku akuntansi.
"Oh iya... tunggu sebentar ya, Mbak. Masih menunggu satu orang lagi dipotong rambutnya. Silakan duduk dulu," ujar si Rambut Jingga sembari menunjuk kursi lipat Chitose hitam di sudut kiri.
Dara duduk, melipat kaki dan tangan dengan anggun seperti yang pernah dipelajarinya di John Robert Power sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling salon. Ih, kalau bukan Jacklyn yang merekomendasikan salon ini, tidak bakalan ia mengunjungi dan memasrahkan rambutnya di tempat berukuran ala kadarnya, dengan kursi-kursi standar dengan dua kipas angin propeler sebagai penyejuk macam ini. Bagaikan langit dan bumi dengan salon yang biasa ia kunjungi untuk creambath. Salon elit yang harga potong rambut saja bisa ratusan ribu. Mungkin satu paket dengan aroma terapi yang dibakar terus menerus demi kenyamanan pelanggan salon agar tidak jenuh saat menunggu.
"Pokoknya, kamu percaya saja, Ra," kata Jacklyn meyakinkan dua hari lalu. "Yang motong rambut adalah Si Fa'i sendiri. Yang dulu di salon Lusihye itu, lho." Dengan wajah penuh promosi Jacklyn melanjutkan, "Fa'i itu dulu tangan kanannya Si Christo, pelanggannya paling banyak. Terus mereka ada selisih paham, akhirnya Fa'i buka salon sendiri di rumahnya. Banyak langganannya yang pindah nyari Fa'i." Jacklyn jeda sejenak, menelan ludahnya yang sedikit berbusa-busa. "Potongannya keren habis. Dia bisa mengkombinasikan antara jenis rambut, warna kulit dan bentuk wajah kita! Harga terjangkau pula."
Dara melihat sekelilingnya, dan sekali lagi berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah mengambil keputusan. Secara ia ingin tampil mencengangkan, mempesona, mengundang decak kagum, dan berbagai kosa kata lainnya dari orang-orang yang bakal melihat penampilannya nanti. Terlebih, ia dapat tampil paling mentereng di acara ulangtahun Kezia malam Minggu ini. Dan yang pasti, ia bakal membuat Yoga, mantan pacarnya beserta kekasihnya yang barunya itu, terperanjat oleh pesona dari dirinya yang tampil bak Cinderella.
***
Sebenarnya alasan Dara ingin tampil cantik bukan karena ia masih ingin Yoga kembali padanya. Toh memang mereka sudah tidak cocok. Namun seperti biasa, penyakit yang timbul setelah putus pacaran adalah tidak rela kalau mantan pacar lebih cepat dapat pengganti. |
***
Namun, ia mengernyitkan dahinya.
Lho, kok sepertinya ada yang memperhatikan ia lagi!
Dengan kepala yang terperangkap seperti itu agak susah Dara mengedarkan pandangan. Cowok kaos biru muda? Bukan. Cowok kaos putih? Bukan juga. Lho... mata Dara berhenti pada cowok berkacamata dan berkemeja coklat army yang ia lihat lewat cermin di depannya. Cowok itu mengangguk sopan. Dara menyungging senyum kecil. Ada apa sih hari ini? tanyanya dalam hati. Lalu dengan panik ia melihat bayangan dirinya di cermin.
'Jangan-jangan ada sesuatu nempel di muka aku!' pekik Dara dalam hati, lalu menghela napas lega setelah apa yang 'tidak-tidak', yang dibayangkannya tidak terjadi!
Aduh! Masih belum selesai juga, nih! Dara sudah mulai bosan. Kali ini ia yang mencuri pandang dan mencuri dengar ke arah dua pemuda keren tadi.
"Troy, sudah mencicipi ikan bakar Letjen Sutoyo belum?" Cowok bermata elang bertanya.
Dara memutar matanya, kembali ke depan cermin. Hm, Troy...
Sekonyong-konyong Troy sudah ada di sampingnya, dan mengambil salah satu majalah di meja cermin depan Dara. Mata mereka bersirobok, dan Troy itu mengedipkan sebelah matanya dengan sikap menggoda.
Dara kemekmek. Cepat-cepat meraih air mineral free of charge dari salon. Fiuh! Untung disediakan minum. Kalau tidak, ia bisa mati gaya.
"Ih, genit amat sih cowok itu," rutuk Dara, ngedumel dalam bisik.
Tidak lama kemudian, salah seorang pegawai salon Si Fa'i datang dan membuka tangkup pemanas rambut pada kepalanya.
"Oke, Mbak, sudah selesai," ujar si Pegawai salon, masih si Rambut coklat serupa besi berkarat yang lebih kemayu ketimbang perempuan. "Dibilas dulu ya, Mbak?"
Dara agak lega setelah seperti menunggu selama seabat. Namun, alangkah terkejutnya ia saat melihat dirinya lebih seksama pada cermin. Hasil semir warna pada rambutnya sungguh di luar dugaan!
"Lho?! Kok...!" Dara seperti kebakaran jenggot. Panik. Gugup luar biasa. "Mbak, eh Mas... Oom, eh... kok jadi warna merah menyala?! Seperti gulali pada poni panjangnya?!"
"Ya? Kenapa, Mbak?" tanya Mas Fa'i yang ikutan panik melihat ekspresi Dara, segera menghampiri tempat duduk Dara yang tengah berteriak.
"Aduh... Mas! Kenapa warna merah yang zaman Maia Ahmad masih sahabatan sama Mulan Kwok?!" tanya Dara dengan suara tercekat, berusaha menahan tangis.
"Maksud, Mbak?" Mas Fa'i mengerutkan keningnya.
"Mak-maksud aku, seharusnya merahnya adalah merah kecoklatan pas Maia lagi heboh-hebohnya mau cerai sama Dhani!"
"Merah yang bagaimana ya, Mbak?" tanya Mas Fa'i bingung. Sementara itu si Rambut coklat serupa besi berkarat hanya terpana dan mematung dengan jari tergigit.
"Ya... merah agak coklat agak gelap tapi merah. Begitu, merah jablay begitu!" Dara bingung menjelaskannya, berdiri dan sedikit mengentakkan kakinya ke lantai karena kesal luar biasa. "Ada contoh warna tidak, sih?!" tanyanya lagi dengan ruap marah.
Dara kesal sekali. Kenapa juga ia bodoh tidak memilih warna sejak awal. Begini deh jadinya!
Tergopoh-gopoh si Ranbut coklat serupa besi karat berlari menuju meja kasir, lalu detik berikutnya ia sudah tiba di hadapan Dara dan mengangsurkan gumpalan sampel rambut sintesis yang tertempel di karton warna hitam dan putih itu pada Dara.
Duh, jangan sampai Mbak ini menangis sambil teriak di salon tempat ia baru bekerja dua minggu ini. Bisa-bisa rumor beredar di luaran bahwa Salon Fa'i mengecewakan pelanggan dan kemudian tutup, lantas akhirnya ia menganggur lagi. Uh, ia paham benar bagaimana lips to lips marketing and advertising lebih jitu ketimbang iklan di televisi.
Dara membolak balik semua lembaran contoh warna. Gila! Dari sekian banyak sampel, tapi tidak ada yang sesuai dengan selera warna yang diinginkannya. Tidak ada yang persis sama dengan warna rambutnya Maia Ahmad Estianty Ratu! Dengan lunglai diletakkannya buku-buku besar itu ke atas meja. Yah, memang salahnya tidak membawa contoh majalah yang ada Maia dengan rambut breathtaking-nya itu. Apa boleh buat nasi telah menjadi kerak.
"Berapa, Mbak?" tanya Dara lemas, setelah ia lebih memilih untuk pulang dan menangis sepuas-puasnya. Hancur berantakan semua impian indahnya!
Namun ia membelalak tidak percaya setelah mendengar harga yang disebutkan. Alias murah banget! Ah, biar saja. Mungkin mereka merasa bersalah sehingga membanting harga sampai menyusur tanah alias korting irasional!
Begitu Dara keluar menuju mobilnya, ada langkah-langkah mengikutinya
"Maaf, Mbak, mengganggu sebentar. Hm, ini kartu nama saya." Ternyata cowok berkacamata dan berbaju coklat army tadi.
Dara baru sadar bahwa orang itu sejak tadi hanya duduk tapi tidak melakukan perawatan apapun di Salon Rifa'i. Dara membaca tulisan yang tertera di kartu tersebut: 'Colours Model Inc. Agung Suseno. Director'.
"Saya sedang mencari talenta baru untuk iklan pewarna rambut, dan sejak tadi saya perhatikan Mbak. Maaf, nama Mbak siapa...."
Dara meneruskan. "Dara. Daraditha Prihantini."
"Oya, Mbak Dara. Mbak Dara cocok sekali untuk diikutkan audisi untuk iklan produk kami. Warna rambut dan modelnya cocok sekali pada rambut Mbak Dara. Kapan bisa ikut sesi pemotretan?" desaknya dengan ekspresi serius.
Dara melongo. Tidak salah dengarkah ia?! Hatinya mulai membuncah dengan bunga.
"Hm, saya lihat jadwal saya dulu ya Mas," sahut Dara berlagak profesional. "Nanti saya hubungi Mas...."
Pemuda bertampang officer itu cukup puas dengan jawaban Dara. "Oke, oke. Terima kasih ya, Mbak Dara. Saya tunggu telepon dari Anda."
Dara kembali berjalan ke arah mobilnya ketika selesai menjabat tangan dengan pemuda itu. Namun lagi-lagi langkahnya terhenti ketika ada langkah-langkah berikutnya yang terdengar buru-buru diselingi panggilan santun.
"Permisi, Mbak. Tunggu sebentar!"
Ketika Dara menoleh, ia kembali bertanya pada dirinya. "Hari apa sih ini?"
Tiba-tiba saja, hari ini, ia dikerubuti oleh pemuda-pemudah keren. Kedua cowok yang tadi melirik-liriknya di dalam salon telah tiba di hadapannya. Sementara itu mobil pemuda bernama Agung tadi sudah meninggalkan halaman parkir.
"Sori, boleh kenalan tidak?" tanya si Mata Elang.
Dara membelalak tidak percaya.
Cowok itu melanjutkan, "Aku Glenn, dan ini sepupuku, Troy." Tangannya diulurkan mengajak salaman.
Sembari menyambut uluran tangan itu, Dara menyebutkan namanya. "Daraditha Prihantini. Panggil saja Dara."
Lalu percakapan sambil berdiri di tengah jalan kompleks yang sempit itu berlanjut sampai tukar menukar nomor telepon. Ternyata Glenn lebih simpatik ketimbang Troy, bahkan jauh lebih keren dibandingkan pemuda bernama Agung tadi. Setelah berkenalan, Dara pulang dengan hati bahagia. Tangisnya perlahan berubah menjadi senyuman.
***
Kini tiba malam yang ditunggu-tunggu.
Dara tak hentinya menatap dirinya di cermin.
Is that really me?
Wuih... canggih!
Tube dress black maroon dengan tali tipis spaghetti dan rok model A line, plus sepatu senada dipadu make-up natural minimalis sangat memodiskan tubuhnya yang ramping. Ia tampak anggun diandili rambut bob mutakhir dengan warna racikan Salon Rifa'i. Pesta ultah Kezia pasti tertakjubi oleh kehadirannya bak Cinderella. Apalagi, ia digandeng oleh sang Pangeran dari Negeri Rifa'i (ups, salah! Maksudnya, pemuda yang dikenalnya di Salon Rifa'i bernama Glenn!).
Ssstt, bukan itu saja!
Ia juga bakalan menjadi selebritis baru. Tentu saja bukan karbitan secara ia memang sedari dahulu bercita-cita menjadi model papan atas. Dan, lagi-lagi rencana sesi pemotretan minggu depan diantar Glenn, si Pujaan Hati.
"Terima kasih, Tuhan. Terima kasih telah menganugerahi aku seorang pemuda tampan dan baik hati di Salon Rifa'i. Terima kasih, Jacklyn. Andilmu mengenalkan aku pada Salon Rifa'i tak pernah akan aku lupakan. Dan terima kasih juga untuk Mas Fe'i. Hasil semir rambutmu membuahkan hasil yang indah. Terima kasih, Mas... Mbak, eh Oom berambut coklat serupa besi berkarat. Kamu adalah pegawai salon terhandal...." bisik Dara dalam doa, tersenyum lalu seperti terbang menuju bintang-bintang karena saking bahagianya. ©
Ada bulan di atas atap rumah ketika Putri Langit datang menemui Supria yang sedang tertidur di samping istrinya.
"Untung kamu datang, Putri," sambut Supria di dalam mimpinya. "Sudah lama aku menunggumu. Ke mana saja kamu, Putri? Aku gelisah sejak sore tadi," lanjut Supria dengan hati girang.
"Aku menemui orang-orang yang dirundung galau sepertimu. Mereka semua meminta aku berkunjung," sahut Putri Langit sesaat setelah turun dari langit dengan mengendarai selendang kabut.
"Bukankah kamu pernah berikrar untuk lebih memperhatikan aku ketimbang yang lain?" tuntut Supria lembut. "Bukankah begitu, Putri?"
"Benar. Perhatianku pada kamu melebihi yang lainnya. Tapi, bukankah seharusnya kamu mencurahkan perhatianmu pada kepentingan keluargamu - anak dan istri, juga orang-orang yang dekat denganmu?"
"Justru karena itulah, Putri, aku jadi tersiksa serasa neraka. Aku merasa dipasung oleh mereka. Aku seperti kuda, dipecut untuk terus berjalan. Bahkan berlari mengejar sesuatu yang tak pasti."
Putri Langit terdiam. Supria merasa tak enak hati pertemuan mereka direcoki kisah miris yang diungkapkannya sebagai bagian dari curahan hati.
"Maafkan aku, Putri. Aku sangat serakah ingin menguasai kebaikan hatimu."
"Jangan berkata seperti itu," ujar Putri Langit. "Semua makhluk sepertimu itu serakah. Tap,i tidak seharusnya kamu pun ikut-ikutan seperti mereka."
"Benar, Putri. Tapi, batinku tak akan pernah dapat tenang. Persoalan demi persoalan bemunculan, menumpuk segebung tanpa terakhiri," beber Supria.
"Sudahlah," suara Putri Langit melunak. "Aku kasihan padamu. Kemarilah, Lelakiku. Pegang tanganku. Ayo, ikut pergi bersamaku."
Lalu, Putri Langit membawa Supria terbang ke atas langit menerobos gemawan.
Di atas langit, tepatnya di Kerajaan Serba Ada, Supria diturunkan.
"Kita sudah sampai, Lelakiku," ujar Putri Langit. "Jangan sungkan untuk meminta."
Supria yang telah berada di ruang berdinding cahaya terlihat gugup. Tak disangkalinya kalau gemerlap langit membuatnya terkesima. Sungguh, kehidupannya di dunia fana merupakan aparadais. Tak ada keajaiban sesontak di sini, pikirnya. Sebuah dimensi yang bertolak belakang. Di Kerajaan Serba Ada ini semua serba mudah. Ketika Supria kehausan, tiba-tiba saja bermacam jenis minuman segar tersedia di hadapannya.
"Bagaimana?" tanya Putri Langit.
"Sungguh menakjubkan!" cetus Supria terkagum-kagum.
"Di dunia, kamu telah kehilangan suasana surga?"
Supria tersipu malu. Disingkirkannya gelas minuman dari hadapannya, lalu menatap Putri Langit dalam-dalam. "Aku ingin bercinta," desisnya.
Kali ini Putri Langit yang tersipu malu.
"Kenapa? Apa kamu menolak bercinta denganku?" kejar Supria.
"Tidak," sahut Putri Langit. "Justru aku membawamu ke sini untuk melupakan semua yang membebani pikiranmu."
Alangkah bahagianya Supria saat mendengar Putri Langit berkata seperti itu. Lalu, Supria menerima uluran tangan Putri Langit. Mereka lantas berpelukan. Di angkasa mereka seperti kapas yang bergelung dan berguling-guling. Tempo-tempo mereka menjelma bintang, berkelap-kelip di angkasa raya. Pada saat yang lain, mereka seperti dua cahaya meteor yang bertubrukan. Tubuh mereka memercikkan beribu cahaya. Begitu indah.
"Aku bahagia sekali, Putri."
"Aku senang kamu bisa bahagia."
"Aku ingin memilikimu selamanya."
Putri Langit mengendurkan pelukannya. "Serakah kemanusiaanmu muncul lagi. Mestinya kamu tak perlu mempunyai sifat seperti itu lagi."
"Di bumi aku tersiksa sekali. Aku seperti kuda, dipecut untuk selalu terus berjalan. Aku tak mau turun lagi, Putri. Aku ingin selalu bersamamu," alasan Supria.
"Jangan begitu, Lelakiku," sanggah Putri Langit. "Aku akan datang dan membawamu ke mana kamu suka, asal kamu tidak mementingkan dirimu sendiri."
"Apa benar begitu?" tanya Supria penasaran.
Putri Langit tak menyahut. Sebaliknya, ia membawa Supria turun ke bumi untuk melihat apa yang dikerjakan oleh orang-orang dekatnya. Siang atau malam, orang-orang yang berada di bumi tak melihat keberadaan Putri Langit atau Supria yang telah menjelma menjadi angin.
"Kamu kenal dengan orang itu, Lelakiku?" tanya Putri Langit sambil menunjuk ke salah seorang perempuan di belakang gerobak rokok. Supria menyimak takzim. "Hah, itu Winarti? Istriku! Sedang apa dia?" tanyanya heran.
"Lihat saja dulu, ke mana dia setelah ini," kata Putri Langit, menyoal keberadaan istri Supria di pinggir jalan. Dan, perempuan yang dikenal sebagai istrinya itu kini berjalan menuju halte bus. Sebuah bus kota muncul. Perempuan itu naik ke dalam bus kota bersama beberapa calon penumpang. Di dalam bus perempuan itu mengeluarkan alat musik serupa ketimpring dari dalam tasnya. Lalu perempuan itu menyanyi.
"Astaga, istriku mengamen?!"
"Nah, ternyata orang yang kamu anggap telah menyiksa dirimu, justru sebaliknya. Dia lebih tabah ketimbang dirimu," tukas Putri Langit.
Mata Supria tak berkedip. "Winarti! Winarti!" teriak Supria dari atas angkasa.
"Istrimu tidak akan mendengar atau melihatmu. Sebab kita sedang dalam wujud angin. Mau lihat yang lainnya?" tawar Putri Langit kemudian.
Supria mengangguk. Bahkan ia penasaran dengan benak baur ingin melihat semua kejadian pada saat dirinya berada di tempat lain.
"Ayo, Putri! Bawa aku ke tempat orang-orang yang aku kenal, dimana aku tak berada di dekat mereka saat ini."
"Dengan senang hati, Lelakiku," sambut Putri Langit seraya menuntun tangan Supria. Selanjutnya, mereka berkesiur ke pohon-pohon berdaun gimbal di tepi jalan - dimana biasanya orang-orang berteduh menyejukkan diri.
"Kamu lihat anak itu? Coba perhatikan siapa dia?" tanya Putri Langit sambil menunjuk ke salah seorang anak laki-laki yang sedang menyedot minyak tanah dari mobil tangki dengan menggunakan selang yang dimasukkan ke jirigen. Bocah kecil itu melakukannya di saat mobil tangki minyak itu terjebak lampu merah.
"Ya, Tuhan! Itu anakku! Itu anakku! Oh, sekecil itu dia sudah berada di jalan raya! Bagaimana ini, Putri?" keluh Supria semaput.
"Itulah. Ternyata anakmu pun tak mau tinggal diam terhadap kerasnya kehidupan ini. Meski di mata kita perbuatannya itu salah, tapi seperti yang aku bilang tadi, mereka juga sedang dirundung kesulitan. Mereka juga merupakan orang-orang susah. Bukan hanya kamu yang merasakan hal tersebut. Lihatlah, mereka - istri dan anakmu - ikut berandil dalam menata ke kehidupan yang lebih baik dan layak. Sikapilah dengan benar, Lelakiku. Bersyukurlah, anak dan istrimu sedang membangun prinsip-prinsip di dalam hidup ini."
Supria tercenung. Sebagai angin dia memilih bersemayam di dahan pohon. Bersembunyi dari hiruk-pikuk persoalan. Dia ingin berteriak tapi entah seperti apa desaunya. Tentu anak dan istrinya tak akan tahu kalau yang berkesiur di sekeliling mereka itu adalah sang suami, sang ayah yang telah berburuk sangka terhadap diri mereka.
"Mau lihat yang lainnya lagi?" tantang Putri Langit sambil menarik tangan Supria dari rerimbun pohon yang tumbuh di tepi jalan raya itu.
Supria menurut. Dia tak bisa menolak. Putri sudah berbuat baik, pikirnya. Maka dengan senang hati Supria mengikuti terus ke mana Putri Langit pergi walau harus meninggalkan raganya di tempat lain.
"Apakah kamu ingin melihat orang-orang yang kamu anggap telah berjasa di tempat tinggalmu, Supria?" tanya Putri Langit kemudian.
Supria manut mengakuri.
"Kamu tahu siapa dia?" tanya Putri Langit, menelusup sebagai angin melalui ventilasi sebuah hotel yang mereka datangi.
"Ya, aku kenal. Dia adalah seorang lurah di desaku. Tapi kenapa dia bersama perempuan yang bukan istrinya?" Supria berkata.
"Jangan bingung, Lelakiku," kata Putri Langit.
Lalu Putri Langit membawa Supria yang tengah bingung ke sebuah hotel lainnya. "Kamu kenal dengan perempuan yang ada di dalam kamar hotel itu?" tanya Putri Langit untuk yang kesekian kali.
"Oh, itu! Bukankah itu istri temanku? Mengapa dia berdua dengan lelaki yang bukan suaminya di dalam hotel? Ah, dunia apa ini, Putri?"
Tanpa menyahuti, Putri Langit menyeret separo paksa kekasih batinnya itu pergi melihat sesuatu yang belum dimafhuminya sama sekali. Tiap sebentar, mereka melewati daerah-daerah asing yang belum pernah dikunjungi Supria. Kedua makhluk yang menjelma angin itu berkesiur ke tenda-tenda cafe, melayang ke gedung-gedung tinggi, lantas berhenti sebentar di sudut-sudut ruang. Hampir semua pemandangan yang dilihat Supria sangat bertentangan dengan hati nurani.
"Dan yang ini," kata Putri Langit sambil menunjuk ke sebuah rumah yang terpisah dari perkampungan penduduk. "Kamu mungkin tak kenal dengan perempuan tua itu, tapi tentu mengenal baik perempuan muda yang sedang terbaring tersebut," lanjut Putri Langit setelah mereka masuk ke rumah separo gubuk tersebut melalui lubang angin di atas jendela.
Supria terkejut bukan main. Dia serasa tak percaya. "Astaga! Bukankah itu Punasokawati, anak tetanggaku? Oh, mengapa dia dalam keadaan setengah telanjang dengan kedua kaki direntangkan?"
"Dia mau aborsi!" sela Putri Langit.
"Apa itu aborsi?"
"Mengeluarkan jabang bayi dari rahimnya."
"Lho, bukankah Punasokawati itu belum bersuami?"
"Itulah! Karena salah pergaulan, dia hamil di luar nikah. Sekarang, dia bingung dan malu. Memutuskan menggugurkan bayi yang dikandungnya setelah tidak ada yang bertanggung jawab. Mungkin saat ini dia sendiri bahkan tidak tahu siapa ayah si Janin. Pacarnya bejibun. Cinta hanya dijadikannya sebagai bentuk permainan. Mengenaskan!"
Supria mundur. Dia mau muntah. Kepalanya berdenyut. Perutnya mual.
"Kenapa, Lelakiku?! Kamu kenapa?!"
Supria galau.
"Apa mau lihat yang lebih gila lagi?" tawar Putri Langit kemudian.
"Ti-tidak, tidak! Sudah Putri, jangan kamu teruskan lagi membawaku ke dalam kehidupan gila ini. Jangan lagi, Putri! Aku mohon, jangan lagi, Putri!"
Mendengar ocehan Supria yang gaduh tanpa sadar, Winarti, istri Supria yang galak dan cerewet itu terjaga dari tidurnya.
Siapa Putri?! pikirnya. Kurang ajar! kutuknya kemudian.
Hati sang Istri tiba-tiba terbakar api cemburu di pagi buta. Tanpa basa-basi lagi, sang Istri mengambil air dari dalam gentong lalu menyiramkan ke wajah suaminya.
"Dasar bajingan! Siapa Putri, heh! Siaaapaaa?!" teriak Winarti sambil menjambak rambut Supria dengan kasar sehingga suaminya itu terlempar dari atas tempat tidurnya.
Supria yang masih gugup dan bingung itu hanya melongong di lantai kamarnya, tak dapat menjelaskan duduk persoalannya. ©
Tidak ada komentar:
Posting Komentar